Pagi itu Manggarai nampak mulai
ramai... Anak-anak sekolah pun mulai hilir mudik menuju ke sekolahnya
masing-masing.
Seorang anak berompi abu-abu turun
dari sebuah sedan hitam BMW terbaru ditemani seorang pria keturunan yang
lengkap dengan jas dan kacamatanya. Nampaknya anak itu adalah ketua geng di sekolah ini. Bagaimana tidak? Sekali ia turun, beberapa anggota geng-nya pun lantas mengikuti dari belakang.
Beberapa meter dari mobil itu
berhenti, Fakhri, seorang anak kecil dengan kaos dekilnya memegang beberapa
eksemplar koran dan majalah sambil berusaha menjajakan barang dagangannya.
"Koran.. Koran.. Harian Pagi
Surya, pak... Koran Koran..."
"Korannya, pak?", kata Fakhri
kepada si pria pemilik mobil BMW terbaru itu.
Plakkkkk!!!... Sebuah tepisan
kasar mendarat di bahu Fakhri yang tidak menyangka akan diperlakukan seperti
itu.
"Hei!!! jangan kau kotori
jas mahalku dengan koran dekilmu, anak jalanan!!! Pergi sana !!!"
Hei
anak bau !!!! Pergi sana! Ngapain kamu ada di sekolahku??? Sudah yuk pi jijik
aku lihatnya", kata si anak sambil menggandeng papinya meninggalkan Fakhri dengan wajah yang penuh kejijikan itu.
Anak kecil itu pun tertunduk
dalam...
Aku tidak mengemis
Aku tidak meminta-minta
Aku hanya tawarkan koranku untuk kau baca
Aku hanya tidak mengemis
Aku tidak meminta-minta
Aku hanya tawarkan koranku untuk kau beli
Untuk makanku di hari ini...
Menuju gerbang sekolah yang megah
itu, cibiran si anak pemilik BMW itu pun menghiasai wajah sinisnya kepada Fakhri,
seraya memperlihatkan rasa jijiknya kepada anak jalanan itu..
Tak terasa koran yang didekapnya
itupun dipeluknya erat-erat.. Sedikit basah, karena terkena tetesan air mata
yang mengalir dengan sendirinya....
Ku rela nasibku begini
Lahir ke dunia seorang diri
Ayah ibu telah lama pergi
Hidup yang sulit ku jalani
Di kota ini ku sendiri
Cari nafkah tuk sesuap nasi
Di terik panas ku tak perduli
Jual koran tuk hidupi diri
Terkadang katiku bertanya
Mengapa ayah ibu begitu tega
meninggalkanku sebatang kara
Tanpa sanak dan tanpa saudara
Terasa pedih melihat mereka
Yang sibuk bersekolah
Sedangkan aku, anak jalanan
Suram masa depan
Kadang ku dicaci dan dimaki
Ku hanya bagai sampah kota ini
Hujan panas ku menatap langit
Siang malam kemana ku pulang
Anak jalanan itu hanya duduk tertunduk
di bawah pohon angsana... Koran-korannya kini tak lagi bakal laku karena basah
air matanya..
Sementara itu, berpasang mata
dari beberapa anak jalanan lainnya memandangi Fakhri dari kejauhan dengan hati
yang sembilu. Di antara mereka, seorang Ibu berkerudung yang baik hati, Fatimah
namanya, juga memandangi anak itu dengan hati yang teriris... Ibu Fatimah pun
melangkah menuju tempat dimana Fakhri terduduk diam.
"Siapa namamu, nak?",
sapa Ibu Fatimah kepada anak itu sambil mengusap kepalanya.
"Namaku Fakhri,
ibunda..."
"Kau tak sekolah?"
Fakhri hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya
"Aku hanya mengandalkan
koran-koran ini agar aku bisa hidup, ibunda..."
"Ibunda, ayo kita ajak Fakhri
ke sekolah papan kita..."
"Benar, Fakhri... Meski kita
semua anak jalanan, tapi kita punya sekolah papan untuk menggantungkan
cita-cita dan harapan..."
"Kita juga punya Ibu Fatimah,
yang mencintai kita semua"
"Dan kita punya Dhanapala,
yang mengajar kita Cinta untuk mengejar cita-cita"
"Ayo, Fakhri !"
Fadli, Fahmi, Farah, Fauzan, dan Faiz,
secara bergantian kelima anak jalanan murid Ibu Fatimah itu pun memohon sangat
kepada gurunya agar Fakhri diajaknya ikut serta untuk belajar bersama mereka di
sekolah papan.
"Ayolah, nak...", ajak Ibu Fatimah dengan rangkulannya yang hangat itu.
Mendengar suatu harapan baru, Fakhri
pun tersenyum mengiringi anggukan kepalanya.....
"Asiiiiikkk... Kita punya
teman baru...", Fatih sang Ketua Kelas itu pun ikut gembira setelah
mengetahui bahwa sekolah papan Ibu Fatimah pun kini telah memiliki anggota
baru...
Manggarai pagi itu, sekelompok
anak dekil meloncat kegirangan dan berlari bersama menuju sekolah papan mereka
demi sesuatu yang ingin digapai bersama : Cita-cita....
(bersambung)