Kamis, 28 November 2013

MUSIKAL ANAK LANGIT BABAK I - SCENE 2 : 14 TAHUN KEMUDIAN

Namaku Fauzan, murid Ibu Fatimah dari sebuah sekolah papan di sebuah tempat di Ibu Kota Jakarta bernama Manggarai. 



Kata Ibu Fatimah saat itu, ini adalah sekolah kejar-kejaran... Kejar Paket A, B, C dan sebagainya... hahahaha... entah sampai kapan kami harus mengejar semua paket-paket itu hingga kami harus keluar dari selokan...

Hingga akhir hayatnya, sekolah itu hanya memiliki 12 orang murid. Delapan orang murid laki-laki, dan empat murid perempuan...

Fakhri, Fadli, Fahmi, Fauzan, Faiz, Fatih, Farhan, Ferdinand,
Farah, Fatiyah, Fauziah, dan Zahra

Minggu depan aku akan berangkat ke Jerman untuk mengambil gelar Master of Engineering di sana. Aku ingin mengikuti jejak idolaku, Bapak BJ Habibie.  Selepas dari sekolah papan Ibu Fatimah di Manggarai, Tuhan tetap menganugerahkan berbagai bea siswa untuk aku bersekolah, hingga aku berhasil meraih gelar Sarjana dari sebuah kampus teknologi terkemuka di Bandung..

Apa kabarnya kini Ibu Fatimah? Sehat-sehatkah beliau? Kemanakah kesebelas sahabatku itu? Aku sangat yakin, didikan keras namun penuh cinta dari seorang Ibu Fatimah mampu membuat mereka bertahan di ibu kota yang keras ini.

Manggarai ....



Hmmmm... Hari ini aku berdiri di depan stasiun Manggarai, persis 14 tahun yang lalu.. Saat sekolah kami kebanjiran ketika penjaga pintu air Manggarai harus membuka pintu itu demi ibu kota supaya tidak tenggelam. Dan tidak hanya libur sekolah... Aku dan Farhan terpaksa libur jualan asongan. Sementara Fakhri dan Faiz pun harus libur berjualan koran dan menyemir sepatu di stasiun manggarai. Hanya Fahmi yang beruntung tetap bisa mengamen. Itu pun karena untuk menghibur para korban banjir di Manggarai.. hahaha...

Kini, pikirku melayang ke 14 tahun silam... Saat aku bersama kesebelas anak lainnya bersama dengan latar belakang yang sama, anak jalanan... Banyak kisah yang membawa kami dari selokan, jalanan, lampu merah, entah apalagi yang mereka istilahkan.. 

Dan inilah kisahnya.....






(bersambung)

MUSIKAL ANAK LANGIT BABAK I - SCENE 1 : NASIB ANAK JALANAN


Pagi itu Manggarai nampak mulai ramai... Anak-anak sekolah pun mulai hilir mudik menuju ke sekolahnya masing-masing.

Seorang anak berompi abu-abu turun dari sebuah sedan hitam BMW terbaru ditemani seorang pria keturunan yang lengkap dengan jas dan kacamatanya. Nampaknya anak itu adalah ketua geng di sekolah ini. Bagaimana tidak? Sekali ia turun, beberapa anggota geng-nya pun lantas mengikuti dari belakang.

Beberapa meter dari mobil itu berhenti, Fakhri, seorang anak kecil dengan kaos dekilnya memegang beberapa eksemplar koran dan majalah sambil berusaha menjajakan barang dagangannya.

"Koran.. Koran.. Harian Pagi Surya, pak... Koran Koran..."
"Korannya, pak?", kata Fakhri kepada si pria pemilik mobil BMW terbaru itu.

Plakkkkk!!!... Sebuah tepisan kasar mendarat di bahu Fakhri yang tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu.
"Hei!!! jangan kau kotori jas mahalku dengan koran dekilmu, anak jalanan!!! Pergi sana !!!"



Hei anak bau !!!! Pergi sana! Ngapain kamu ada di sekolahku??? Sudah yuk pi jijik aku lihatnya", kata si anak sambil menggandeng papinya meninggalkan Fakhri dengan wajah yang penuh kejijikan itu. 



Anak kecil itu pun tertunduk dalam...

Aku tidak mengemis
Aku tidak meminta-minta
Aku hanya tawarkan koranku untuk kau baca

Aku hanya tidak mengemis
Aku tidak meminta-minta
Aku hanya tawarkan koranku untuk kau beli
Untuk makanku di hari ini...

Menuju gerbang sekolah yang megah itu, cibiran si anak pemilik BMW itu pun menghiasai wajah sinisnya kepada Fakhri, seraya memperlihatkan rasa jijiknya kepada anak jalanan itu..

Tak terasa koran yang didekapnya itupun dipeluknya erat-erat.. Sedikit basah, karena terkena tetesan air mata yang mengalir dengan sendirinya....

Ku rela nasibku begini
Lahir ke dunia seorang diri
Ayah ibu telah lama pergi
Hidup yang sulit ku jalani

Di kota ini ku sendiri
Cari nafkah tuk sesuap nasi
Di terik panas ku tak perduli
Jual koran tuk hidupi diri

Terkadang katiku bertanya
Mengapa ayah ibu begitu tega
meninggalkanku sebatang kara
Tanpa sanak dan tanpa saudara

Terasa pedih melihat mereka
Yang sibuk bersekolah
Sedangkan aku, anak jalanan
Suram masa depan

Kadang ku dicaci dan dimaki
Ku hanya bagai sampah kota ini
Hujan panas ku menatap langit
Siang malam kemana ku pulang




Anak jalanan itu hanya duduk tertunduk di bawah pohon angsana... Koran-korannya kini tak lagi bakal laku karena basah air matanya..

Sementara itu, berpasang mata dari beberapa anak jalanan lainnya memandangi Fakhri dari kejauhan dengan hati yang sembilu. Di antara mereka, seorang Ibu berkerudung yang baik hati, Fatimah namanya, juga memandangi anak itu dengan hati yang teriris... Ibu Fatimah pun melangkah menuju tempat dimana Fakhri terduduk diam.

"Siapa namamu, nak?", sapa Ibu Fatimah kepada anak itu sambil mengusap kepalanya.
"Namaku Fakhri, ibunda..."
"Kau tak sekolah?"
Fakhri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya

"Aku hanya mengandalkan koran-koran ini agar aku bisa hidup, ibunda..."


"Ibunda, ayo kita ajak Fakhri ke sekolah papan kita..."
"Benar, Fakhri... Meski kita semua anak jalanan, tapi kita punya sekolah papan untuk menggantungkan cita-cita dan harapan..."
"Kita juga punya Ibu Fatimah, yang mencintai kita semua"
"Dan kita punya Dhanapala, yang mengajar kita Cinta untuk mengejar cita-cita"
"Ayo, Fakhri !"


Fadli, Fahmi, Farah, Fauzan, dan Faiz, secara bergantian kelima anak jalanan murid Ibu Fatimah itu pun memohon sangat kepada gurunya agar Fakhri diajaknya ikut serta untuk belajar bersama mereka di sekolah papan.
"Ayolah, nak...", ajak Ibu Fatimah dengan rangkulannya yang hangat itu.

Mendengar suatu harapan baru, Fakhri pun tersenyum mengiringi anggukan kepalanya.....

"Asiiiiikkk... Kita punya teman baru...", Fatih sang Ketua Kelas itu pun ikut gembira setelah mengetahui bahwa sekolah papan Ibu Fatimah pun kini telah memiliki anggota baru...

Manggarai pagi itu, sekelompok anak dekil meloncat kegirangan dan berlari bersama menuju sekolah papan mereka demi sesuatu yang ingin digapai bersama : Cita-cita....

(bersambung)