Sore itu, Jumat 16 Juli 1993, bel tanda pulang sekolah bagi para siswa kelas I lebih cepat daripada hari-hari sebelumnya..
Di lapangan yang cukup luas untuk ukuran SMP di Kecamatan Johar Baru
saat itu, terlihat beberapa siswa senior (kelas 2 dan 3) sedang berbaris
gagah dengan baret dan topi tikarnya. Hmmmm... Jadi teringat ucapan Pak
Hadi, guru olah ragaku di SDN Johar Baru 07 pagi beberapa bulan yang
lalu... "Kamu terlihat lebih gagah kalau pakai seragam Pramuka, Zen!"...
Hahahaha..
Tiba-tiba sebuah tepukan di punggungku memecah
lamunanku sore itu.
"Ad! Lu ikut ekskul apaan? Gue PMR nih...", kata
seorang kawanku.
"Pramuka!", jawabku secara spontanitas meski belum pernah ku pikirkan sebelumnya.
"Ah, payah lo.. Kayak anak SD aje ikutan Pramuka!"
"Lah, lo sendiri kenape ikut PMR?", tanyaku agak ketus.
"Hahahaha... Lumayan buat nambah-nambah nilai olah raga.. Denger-denger sih gitu kata anak-anak"
"Whuahahahaha...niat lo aje udah jelek, Man!. Semoga awet deh.."
"Kalo nggak, kita masuk paskib aja yuk? Denger-denger anak cewek yang
cakep-cakep pada ngumpul disono. Si Ucu ikut paskib lo katanya"..
"Dih, ituan lagi.. Gue udah temenan sama dia dari SD. 6 tahun kenal dia
mah cukuplah..hahaha.. Gue tetep Pramuka aja ah...", kataku yang
langsung menuju lapangan tempat anak-anak Pramuka itu berbaris.
Hari itu belum banyak siswa-siswi baru SMP 76 yang masuk Pramuka...
Aku jumpai 5 orang anak laki-laki seangkatanku yang kemudian ku kenal dengan nama Tony, Himawan, Rahman, Risman, dan Indra.
Kami memilih Regu Cobra sebagai simbol perekat persahabatan kami yang
baru lima hari berjumpa di SMPN 76 itu. Kenapa Cobra? Entahlah... yang
pasti binatang melata itu yang kami pilih untuk mewakili rasa "sangar"
dan sifat "ke-cowok-an"...hahaha.. Just simple like that. Rahman pun
kami daulat sebagai Pinru dengan Tony sebagai Wapinrunya.
Tidak
ada yang istimewa dari perjalanan kami selain adanya kekagetan di
Kecamatan Johar Baru bahwa regu anak baru bernama Cobra itu mampu
menjadi Juara I LRP yang diselenggarakan oleh MTs 9, salah satu Gugus
Depan macan di Johar Baru, serta berbagai kegiatan semacam Jambore
Perhubungan Nasional.
Masa-masa Penggalang pun kami lewati
dengan sangat baik, meski akhirnya di penghujung keberadaan kami di
almamater ini, aku harus ditinggal sendiri bersama sahabat putriku untuk
tetap berada dengan kacu di leher kami ini.. Agustiani... dialah
satu-satunya sahabat di angkatanku yang tersisa.. Dia juga lah yang
tetap mengikuti kegilaanku untuk tetap latihan Pramuka meski sudah
mendekati hari-H EBTANAS (sebutan dahulu untuk Ujian Nasional).
Tak ayal kegilaan ini pun akhirnya diikuti oleh adik-adik kelasku yang
kini bersamaku memegang kendali atas bendera Regu Rajawali. Sebuah
pemandangan yang sangat biasa pada hari-hari itu apabila anak-anak 76
lainnya melihat kegilaan kami saling mengirim isyarat semaphore atau
morse dari lantai 3 SMPN 76. Satu ciri lainnya dari anak Pramuka 76 saat
itu adalah miniatur tandu yang kami buat sendiri untuk dijadikan
gantungan kunci tas sekolah kami...
Hahahaha... Masih menempel
di ingatanku ketika suatu saat, Pak Aang dan Pak Tugiman melakukan
razia barang-barang bawaan di tas anak-anak 76... Sementara mereka
menemukan barang-barang terlarang dari tas anak-anak lainnya, para guru
ini hanya menemukan bendera semaphore, pluit morse, tali Pramuka, dan
gantungan kunci berbentuk tandu mini dari tas-tas anak-anak Pramuka.
Saking menemukan barang-barang yang sama dari setiap anak Pramuka,
muncul istilah "Gila Pramuka" yang akhirnya melekat pada semua anak
Pramuka yang "freak" pada kegiatan ini... Sebut saja nama Hafiez Achmad,
seorang Penggalang yang saat itu tidak ada yang bisa menandingi
kecepatan penerjemahan morse dan semaphorenya. Atau duet Fuad dan
Agustiani yang kecepatan membuat tandunya melebihi anak PMR 76.
Dari kegilaan inilah, muncul sebuah pasukan "Bajing Ireng" yang
dilahirkan oleh Kakak-kakak kami yang "Gila Pramuka" lebih dahulu.. Kak
Mazhar, Kak Inel, Kak Imron, dan kawan-kawannya sukses menjadikan kami
yang "Gila Pramuka" menjadi lebih gila lagi...hahaha Aku pun menjadi
Komandan Pleton yang pertama bagi Bajing Ireng...
Berawal dari
keinginanku untuk tetap terlihat keren dengan seragam, akhirnya aku pun
jatuh cinta kepada gerakan ini hingga membawaku untuk menyeberangi ruang
waktu dan memutuskan untuk melanjutkan perjalananku sebagai seorang
Penegak. Aku hanya tetap ingin bersama Gugus Depan yang aku cintai ini,
tidak kurang dan tidak lebih.
Namun tidak hanya itu, saat aku dan sahabatku memutuskan untuk menjadi Penegak Bantara, Kak Mazhar kemudian berpesan padaku...
"Zen, kamu tahu kenapa evolet Penegak ada di pundak?. Karena seorang
Penegak akan mulai belajar untuk memikul tanggung jawab sendiri.
Tanggung jawab kepada Allah SWT, kepada negara, kepada masyarakat,
kepada keluarga, dan pastinya kepada diri kamu sendiri". "Jangan lagi
bergantung pada pembinamu seperti saat kamu masih Penggalang. Belajarlah
kepada kakak-kakakmu di Ambalan dalam menentukan langkahmu sendiri..."
Subhanallah.... dinginnya Desa Giri Jaya malam itu akhirnya terhangatkan
oleh kata-kata sakti tentang nilai-nilai kehidupan yang kemudian
menjadi bekalku selanjutnya untuk berjalan di bumi ini...
Setelah malam itu, banyak lagi alumni Pramuka SMPN 76 yang juga memutuskan untuk ikut serta menjadi Pramuka Penegak.
Namun Gugus Depan ini menemui masa sulitnya di awal tahun 2000. Aku
yang saat itu harus meninggalkan Jakarta dan kuliah di STAN, ditambah
dengan para penegak yang mulai disibukkan dengan persiapan EBTANAS-nya,
harus menerima kenyataan pahit menurunnya jumlah anggota Penggalang
secara drastis. Dua orang Penegak Bantara, Fuad Hayim dan Suci Hadya,
adalah adik-adik yang kami percayakan untuk mempertahankan Gugus Depan
ini, diantara gempuran dahsyat dari ekskul-ekskul lainnya yang sudah
memiliki tempat yang istimewa di mata sekolah.
Luar biasa... Dua
orang Penegak Bantara dan seorang Pembina Gudep (Almarhum Pak Adjid
Nawawi) tetap berusaha mempertahankan agar Gugus Depan ini tetap ada,
meski dengan anggota Penggalang seadanya...
Ya...itulah ciri
yang selalu melekat buat Pramuka SMP 76. Gugus Depan yang dulu berjaya,
kini menjadi gugus depan yang biasa-biasa saja. Jangankan dipandang
sebelah mata orang orang-orang di kwartir.. Dipandang pun sama sekali
tidak. Setiap lomba, baik LRP maupun LT, semua sudah tau siapa pemenang
dan siapa pecundangnya...
Cobaan pun tak berhenti sesampainya di
situ... Meski mendapat dukungan penuh dengan adanya kepemimpinan Kepala
Sekolah yang baru, Gugus Depan ini justru menghadapi masalah baru yang
menguji kebersamaan kami dalam berbakti. Satu hal yang pasti, aku tak
ingin lagi kehilangan Gugus Depan yang aku cintai ini.
Setelah Kak Mazhar dan Kak Inel pasang badan, satu demi satu kawan seperjuangan pun merapatkan barisan.. Hafiez Achmad, Fuad Hasyim, Desi Syafriyati, Delviana Waruwu, Suci Hadya, Dede Sulaeman, Arif Prabowo, dan Hasan Basri. Nama "The Niners" pun dicetuskan bagi kesembilan anak muda yang memiliki cita-cita baru ini...
Tanggal 22 Oktober 2005, kondisi darurat... Di rumah Pembina
Putri, Ibu Ella Suhaela, dan disaksikan pembina-pembina lainnya seperti
Pak Gusti M. Yamani, lahir nama DHANAPALA sebagai nama baru untuk Gugus
Depan ini. Palapa Gajah Mada untuk Putra dan Pramodhawardhana untuk
Putri.
Kak Mazhar dan Kak Inel |
Sebuah nama baru, cita-cita baru yang dilandasi
keikhlasan untuk berbakti dan menjadikan Gugus Depan ini "sesuatu" di
mata masyarakat luas.
Dan kini Dhanapala merayakan usianya yang akan memasuki
ke-25.. Usia yang sangat dewasa untuk bersikap dan bertindak, dan untuk
mengevaluasi dirinya sendiri... Mandiri dan bahkan menolong orang lain
untuk ikut menjadi mandiri.
Pembina, Pandega, dan Pembina Gudep Dhanapala di awal Pembentukannya |
Dhanapala berdiri di atas Cita dan Cinta....
Karena memang itulah yang Dhanapala punya di awalnya.. Kami hanya
miliki cita-cita yang tinggi meski hanya dengan bermodalkan kecintaan
pada Gugus Depan ini... Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk bisa
memperoleh itu semua. Untuk itulah jangan terlena karenanya... Karena
apa yang saat ini Dhanapala punya akan segera habis dan tidak berguna
lagi.
Tidak pernah terlintas dalam mimpi yang kami bangun,
untuk mengikutsertakan kontingen terbanyak pada Jambore Nasional, ikut
kegiatan-kegiatan internasional di luar negeri, maupun menempatkan
kader-kader terbaik di Dewan Kerja. Perlu perjuangan dan hati yang sama
untuk bisa mewujudkan ini semua... From Nothing to Something...
Dan ku cukupkan saja cerita ini, karena terlalu sakit untuk dikenang namun terlalu indah untuk dibuang....
Sampai saat ini, aku masih belum bisa memahami...
Bagaimana planet-planet bisa bertawaf pada orbitnya.
Aku juga tak mengerti, bagaimana para dewa bisa berkuasa atas bumi-Nya...
Yang aku mengerti hanyalah kenyataan,
bahwa aku masih memiliki hati dan rasa ini...
Cinta kah? Entah...
Aku hanya ingin sejarah ini abadi dengan apa adanya
Saat bumi masih didiami oleh manusia jelata
Saat manusia jelata belum menjadi dewa
Seperti pada awalnya...
Saat perjuangan yang tengah dilakukan
berada di atas Cita dan Cinta
The Niners (dari kiri ke kanan) : Kak Hafiez, Kak Fuad, Kak Demon, Kak Bowie, Kak Hasan, Kak Hasyim (tak nampak di foto), Kak Desi, Kak Suci dan Kak Delvi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar