Kamis, 22 November 2012

DHANAPALA Love Story I

Sore itu, Jumat 16 Juli 1993, bel tanda pulang sekolah bagi para siswa kelas I lebih cepat daripada hari-hari sebelumnya..

Di lapangan yang cukup luas untuk ukuran SMP di Kecamatan Johar Baru saat itu, terlihat beberapa siswa senior (kelas 2 dan 3) sedang berbaris gagah dengan baret dan topi tikarnya. Hmmmm... Jadi teringat ucapan Pak Hadi, guru olah ragaku di SDN Johar Baru 07 pagi beberapa bulan yang lalu... "Kamu terlihat lebih gagah kalau pakai seragam Pramuka, Zen!"... Hahahaha..

Tiba-tiba sebuah tepukan di punggungku memecah lamunanku sore itu. 
"Ad! Lu ikut ekskul apaan? Gue PMR nih...", kata seorang kawanku.
"Pramuka!", jawabku secara spontanitas meski belum pernah ku pikirkan sebelumnya.
"Ah, payah lo.. Kayak anak SD aje ikutan Pramuka!"
"Lah, lo sendiri kenape ikut PMR?", tanyaku agak ketus.
"Hahahaha... Lumayan buat nambah-nambah nilai olah raga.. Denger-denger sih gitu kata anak-anak"
"Whuahahahaha...niat lo aje udah jelek, Man!. Semoga awet deh.."
"Kalo nggak, kita masuk paskib aja yuk? Denger-denger anak cewek yang cakep-cakep pada ngumpul disono. Si Ucu ikut paskib lo katanya"..
"Dih, ituan lagi.. Gue udah temenan sama dia dari SD. 6 tahun kenal dia mah cukuplah..hahaha.. Gue tetep Pramuka aja ah...", kataku yang langsung menuju lapangan tempat anak-anak Pramuka itu berbaris.

Hari itu belum banyak siswa-siswi baru SMP 76 yang masuk Pramuka...
Aku jumpai 5 orang anak laki-laki seangkatanku yang kemudian ku kenal dengan nama Tony, Himawan, Rahman, Risman, dan Indra.
Kami memilih Regu Cobra sebagai simbol perekat persahabatan kami yang baru lima hari berjumpa di SMPN 76 itu. Kenapa Cobra? Entahlah... yang pasti binatang melata itu yang kami pilih untuk mewakili rasa "sangar" dan sifat "ke-cowok-an"...hahaha.. Just simple like that. Rahman pun kami daulat sebagai Pinru dengan Tony sebagai Wapinrunya.

Tidak ada yang istimewa dari perjalanan kami selain adanya kekagetan di Kecamatan Johar Baru bahwa regu anak baru bernama Cobra itu mampu menjadi Juara I LRP yang diselenggarakan oleh MTs 9, salah satu Gugus Depan macan di Johar Baru, serta berbagai kegiatan semacam Jambore Perhubungan Nasional.

Masa-masa Penggalang pun kami lewati dengan sangat baik, meski akhirnya di penghujung keberadaan kami di almamater ini, aku harus ditinggal sendiri bersama sahabat putriku untuk tetap berada dengan kacu di leher kami ini.. Agustiani... dialah satu-satunya sahabat di angkatanku yang tersisa.. Dia juga lah yang tetap mengikuti kegilaanku untuk tetap latihan Pramuka meski sudah mendekati hari-H EBTANAS (sebutan dahulu untuk Ujian Nasional).

Tak ayal kegilaan ini pun akhirnya diikuti oleh adik-adik kelasku yang kini bersamaku memegang kendali atas bendera Regu Rajawali. Sebuah pemandangan yang sangat biasa pada hari-hari itu apabila anak-anak 76 lainnya melihat kegilaan kami saling mengirim isyarat semaphore atau morse dari lantai 3 SMPN 76. Satu ciri lainnya dari anak Pramuka 76 saat itu adalah miniatur tandu yang kami buat sendiri untuk dijadikan gantungan kunci tas sekolah kami...

Hahahaha... Masih menempel di ingatanku ketika suatu saat, Pak Aang dan Pak Tugiman melakukan razia barang-barang bawaan di tas anak-anak 76... Sementara mereka menemukan barang-barang terlarang dari tas anak-anak lainnya, para guru ini hanya menemukan bendera semaphore, pluit morse, tali Pramuka, dan gantungan kunci berbentuk tandu mini dari tas-tas anak-anak Pramuka. Saking menemukan barang-barang yang sama dari setiap anak Pramuka, muncul istilah "Gila Pramuka" yang akhirnya melekat pada semua anak Pramuka yang "freak" pada kegiatan ini... Sebut saja nama Hafiez Achmad, seorang Penggalang yang saat itu tidak ada yang bisa menandingi kecepatan penerjemahan morse dan semaphorenya. Atau duet Fuad dan Agustiani yang kecepatan membuat tandunya melebihi anak PMR 76.

Dari kegilaan inilah, muncul sebuah pasukan "Bajing Ireng" yang dilahirkan oleh Kakak-kakak kami yang "Gila Pramuka" lebih dahulu.. Kak Mazhar, Kak Inel, Kak Imron, dan kawan-kawannya sukses menjadikan kami yang "Gila Pramuka" menjadi lebih gila lagi...hahaha Aku pun menjadi Komandan Pleton yang pertama bagi Bajing Ireng...

Berawal dari keinginanku untuk tetap terlihat keren dengan seragam, akhirnya aku pun jatuh cinta kepada gerakan ini hingga membawaku untuk menyeberangi ruang waktu dan memutuskan untuk melanjutkan perjalananku sebagai seorang Penegak. Aku hanya tetap ingin bersama Gugus Depan yang aku cintai ini, tidak kurang dan tidak lebih.

Namun tidak hanya itu, saat aku dan sahabatku memutuskan untuk menjadi Penegak Bantara, Kak Mazhar kemudian berpesan padaku...

"Zen, kamu tahu kenapa evolet Penegak ada di pundak?. Karena seorang Penegak akan mulai belajar untuk memikul tanggung jawab sendiri. Tanggung jawab kepada Allah SWT, kepada negara, kepada masyarakat, kepada keluarga, dan pastinya kepada diri kamu sendiri". "Jangan lagi bergantung pada pembinamu seperti saat kamu masih Penggalang. Belajarlah kepada kakak-kakakmu di Ambalan dalam menentukan langkahmu sendiri..." Subhanallah.... dinginnya Desa Giri Jaya malam itu akhirnya terhangatkan oleh kata-kata sakti tentang nilai-nilai kehidupan yang kemudian menjadi bekalku selanjutnya untuk berjalan di bumi ini...

Setelah malam itu, banyak lagi alumni Pramuka SMPN 76 yang juga memutuskan untuk ikut serta menjadi Pramuka Penegak.

Namun Gugus Depan ini menemui masa sulitnya di awal tahun 2000. Aku yang saat itu harus meninggalkan Jakarta dan kuliah di STAN, ditambah dengan para penegak yang mulai disibukkan dengan persiapan EBTANAS-nya, harus menerima kenyataan pahit menurunnya jumlah anggota Penggalang secara drastis. Dua orang Penegak Bantara, Fuad Hayim dan Suci Hadya, adalah adik-adik yang kami percayakan untuk mempertahankan Gugus Depan ini, diantara gempuran dahsyat dari ekskul-ekskul lainnya yang sudah memiliki tempat yang istimewa di mata sekolah.
Luar biasa... Dua orang Penegak Bantara dan seorang Pembina Gudep (Almarhum Pak Adjid Nawawi) tetap berusaha mempertahankan agar Gugus Depan ini tetap ada, meski dengan anggota Penggalang seadanya...

Ya...itulah ciri yang selalu melekat buat Pramuka SMP 76. Gugus Depan yang dulu berjaya, kini menjadi gugus depan yang biasa-biasa saja. Jangankan dipandang sebelah mata orang orang-orang di kwartir.. Dipandang pun sama sekali tidak. Setiap lomba, baik LRP maupun LT, semua sudah tau siapa pemenang dan siapa pecundangnya...
Cobaan pun tak berhenti sesampainya di situ... Meski mendapat dukungan penuh dengan adanya kepemimpinan Kepala Sekolah yang baru, Gugus Depan ini justru menghadapi masalah baru yang menguji kebersamaan kami dalam berbakti. Satu hal yang pasti, aku tak ingin lagi kehilangan Gugus Depan yang aku cintai ini.
Setelah Kak Mazhar dan Kak Inel pasang badan, satu demi satu kawan seperjuangan pun merapatkan barisan.. Hafiez Achmad, Fuad Hasyim, Desi Syafriyati, Delviana Waruwu, Suci Hadya, Dede Sulaeman, Arif Prabowo, dan Hasan Basri. Nama "The Niners" pun dicetuskan bagi kesembilan anak muda yang memiliki cita-cita baru ini... 
Tanggal 22 Oktober 2005, kondisi darurat... Di rumah Pembina Putri, Ibu Ella Suhaela, dan disaksikan pembina-pembina lainnya seperti Pak Gusti M. Yamani, lahir nama DHANAPALA sebagai nama baru untuk Gugus Depan ini. Palapa Gajah Mada untuk Putra dan Pramodhawardhana untuk Putri.
Kak Mazhar dan Kak Inel
Sebuah nama baru, cita-cita baru yang dilandasi keikhlasan untuk berbakti dan menjadikan Gugus Depan ini "sesuatu" di mata masyarakat luas.
Dan kini Dhanapala merayakan usianya yang akan memasuki ke-25.. Usia yang sangat dewasa untuk bersikap dan bertindak, dan untuk mengevaluasi dirinya sendiri... Mandiri dan bahkan menolong orang lain untuk ikut menjadi mandiri. 
Pembina, Pandega, dan Pembina Gudep Dhanapala di awal Pembentukannya

Dhanapala berdiri di atas Cita dan Cinta....

Karena memang itulah yang Dhanapala punya di awalnya.. Kami hanya miliki cita-cita yang tinggi meski hanya dengan bermodalkan kecintaan pada Gugus Depan ini... Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk bisa memperoleh itu semua. Untuk itulah jangan terlena karenanya... Karena apa yang saat ini Dhanapala punya akan segera habis dan tidak berguna lagi.

Tidak pernah terlintas dalam mimpi yang kami bangun, untuk mengikutsertakan kontingen terbanyak pada Jambore Nasional, ikut kegiatan-kegiatan internasional di luar negeri, maupun menempatkan kader-kader terbaik di Dewan Kerja. Perlu perjuangan dan hati yang sama untuk bisa mewujudkan ini semua... From Nothing to Something...

Dan ku cukupkan saja cerita ini, karena terlalu sakit untuk dikenang namun terlalu indah untuk dibuang....

Sampai saat ini, aku masih belum bisa memahami...

Bagaimana planet-planet bisa bertawaf pada orbitnya.
Aku juga tak mengerti, bagaimana para dewa bisa berkuasa atas bumi-Nya...

Yang aku mengerti hanyalah kenyataan,

bahwa aku masih memiliki hati dan rasa ini...
Cinta kah? Entah...

Aku hanya ingin sejarah ini abadi dengan apa adanya

Saat bumi masih didiami oleh manusia jelata
Saat manusia jelata belum menjadi dewa
Seperti pada awalnya...
Saat perjuangan yang tengah dilakukan
berada di atas Cita dan Cinta
The Niners (dari kiri ke kanan) : Kak Hafiez, Kak Fuad, Kak Demon, Kak Bowie, Kak Hasan, Kak Hasyim (tak nampak di foto), Kak Desi, Kak Suci dan Kak Delvi
 
Cerita ini diambil berdasarkan tulisan Kak Fuad Zaen, Pembina Gudep Dhanapala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar