Kamis, 05 Desember 2013

MUSIKAL ANAK LANGIT BABAK II - SCENE 3 : TENTANG FATIH DAN PAPA


Fauzan tetaplah Fauzan... Di hadapan Ibu Fatimah dan murid-murid lainnya, tak pernah sedikitpun terlihat kegalauan apalagi kesedihan di wajahnya. Kali ini suaranya kembali lantang dalam memimpin kawan-kawannya baris berbaris.

Satu hal yang sama dialami juga oleh Fatih, Sang Ketua Kelas. Meski badannya paling kecil, tapi ia sangat disegani oleh teman-temannya. Fatih Anak tunggal yang menjadi tulang punggung keluarga saat ayahnya menderita lumpuh karena tabrak lari. Anak-anak memanggilnya Papa. Papa yang pemulung itu akhirnya harus lumpuh setelah tabrak lari yang dilakukan oleh sebuah mobil mewah di dekat sekolah papan Ibu Fatimah.
Siang itu, Papa Fatih bergegas menuju sekolah papan Ibu Fatimah untuk mengantarkan barang hasilnya memulung siang itu : 1 stel seragam Pramuka lengkap yang dibuang seseorang di bak sampah di depan rumahnya. Mungkin ada orang tua yang kesal anaknya aktif Pramuka, makanya satu stel seragam itu pun dibuangnya ke bak sampah. Apapun itu, binar mata Papa begitu sayu saat melihat isi dari bungkusan dalam plastik berwarna hitam itu.

"Alhamdulillah.. ini rizkimu, nak... Dengan seragam ini kamu pasti lebih terlihat gagah. Menutupi badan cekingmu yang kurang gizi itu.", ujar Papa Fatih di dalam hati.

Menembus Pasar Rumput, Papa tak lagi lihat kanan kiri untuk menuju sekolah papan Ibu Fatimah. Baginya satu hal yang mesti secepatnya dia lakukan : memberikan bungkusan seragam Pramuka ini kepada Fatih, anak tunggal kesayangannya.

Tiba-tiba..........
BRAKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!!

"Woy pemulung jelek! Meleng sih lu!!!!", hardik seorang pria di balik setir sebuah mobil mewah itu. Melihat kerumunan warga, pria itu pun menancap gasnya kencang-kencang. Sayang, mobil itu terlalu cepat untuk dikejar dengan kaki.

Di tengah kerumunan manusia, di dalam banjir darah dan tulang yang sudah terlihat dengan kasat mata, ditambah erangan kesakitan yang parah, bungkusan plastik berwarna hitam itu pun digenggamnya dengan erat. Tak sadarkan diri, para warga pun membawa Papa ke rumah sakit terdekat.
Kabar kecelakaan yang dialami Papa pun membubarkan latihan anak-anak siang itu. Semua anak, Kak Satya, Ibu Fatimah, dan Pak Zaenuddin pun bergegas menuju rumah sakit. Dan benar, sesosok raga tak lagi kuasa tergeletak di atas tempat tidur di dalam UGD.

Fatih berjalan lunglai menuju tubuh papanya. Air matanya tak lagi tumpah, mungkin karena sudah hampir setiap hari dia menangis. Entah menangisi ibunya yang meninggalkan mereka untuk kabur dengan pria lain, atau menangisi kehidupan mereka yang susah tak ada habisnya. Papa yang sudah sanggup membuka matanya pun hanya tersenyum kecil kepada Fatih seraya memberikan bungkusan plastik berwarna hitam itu kepada anaknya...

Sore itu....


"Assalamu'alaikum... Pa, papa... Lihat apa yang Fatih bawa.."



"Wa'alaikum salam..."

"Lihat Pa, buat makan kita malam ini Pa. Ibu Fatimah memberikan jatah makan siangnya buat Fatih. Jadi kita ada 2 bungkus Pa.."

"Ibu... Fatimah... tidak makan?", kata Papa terbata-bata

"Katanya hari ini beliau puasa Pa... Nah tadi siang aku simpan jatahku di tas. Pas makan siang tadi aku bilang ke Ibu Fatimah kalau aku masih kenyang. Terus Ibu Fatimah kasihkan aku jatah makan siangnya. Hehehe..."

"Subhanallah..."


"Mungkin Ibu Fatimah sudah tau ya Pa? kalau setiap kali dapat makanan dari sekolah, pasti aku bawa pulang untuk kita makan bersama..."

Kembali lagi air mata Papa meleleh di pipi kanannya. Pria yang kini tak berdaya itu harus menggantungkan hidupnya kepada seorang anak kecil yang belum bisa berbuat banyak untuk hidup mereka.

"Minggu depan kami lombanya pa... Aku sudah hafal morse dan beberapa sandi yang diajarkan leh Kak Satya."

Papa hanya bisa membalasnya dengan senyuman seadanya

"Dan betul kata papa, sekarang aku terlihat lebih gagah kan?. Badanku yang ceking pun tak lagi kentara.. hahahaha"

"Ayo pa, kita makan.."




Entah apa yang ada di pikiran Papa saat itu. Mungkin dia segera ingin mati saja, agar tidak menjadi beban anaknya di dunia ini.

Suapan demi suapan pun mengalir bergantian di mulut Papa dan Fatih. Setiap hari, Fatih menyuapi papanya yang sudah lumpuh itu. Tak hanya menyuapi, Fatih pun mengurus segala keperluan papanya. Bagi Fatih, mengurus papa yang selama ini berjuang demi hidup mereka setelah sang ibu pergi dan menikah lagi dengan lelaki lain adalah jauh lebih baik daripada dia harus hidup sendiri di dunia ini...

Terangnya hidup didunia
Karena sinar kasihmu papa
Biar duka menyelimuti kita
Kau selalu hadirkan bahagia

Apapun keadaanmu
Bagiku kau bagaikan raja
Pelindungku dari semua badai
Siang malam kau hangatkan aku

Bila Tuhan ijinkan aku bicara
Ku bersaksi tak akan pernah menyesal
Punya dia yang terhebat
Hanyalah dia

Bila Tuhan ijinkan aku meminta
Hanya ada satu pintaku yang suci
Ku bernafas hanya untuk dia bahagia
Papa...

Apapun keadaanmu
Bagiku kau bagaikan raja
Pelindungku dari semua badai
Siang malam kau hangatkan aku






(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar